560
Selain Raden Ajeng Kartini, Indonesia memiliki beberapa tokoh penting yang berkontribusi dalam gerakan emansipasi perempuan, khususnya pada masa kolonial Belanda, kebangkitan nasional, dan awal kemerdekaan. Berikut adalah beberapa tokoh emansipasi perempuan lainnya beserta peran dan kontribusinya:
1. Dewi Sartika (1884–1947)
-
Latar Belakang: Putri priyayi Sunda dari Bandung, Jawa Barat, yang terinspirasi oleh semangat pendidikan seperti Kartini.
-
Kontribusi:
-
Mendirikan Sekolah Keutamaan Istri pada 1904 di Bandung, yang dianggap sebagai salah satu sekolah perempuan pertama di Indonesia. Sekolah ini mengajarkan membaca, menulis, aritmatika, kerajinan tangan, dan keterampilan rumah tangga untuk memberdayakan perempuan.
-
Berfokus pada pendidikan perempuan dari berbagai lapisan sosial, termasuk kelas bawah, yang membedakannya dari Kartini yang lebih terfokus pada lingkungan priyayi.
-
Mengadvokasi pentingnya perempuan sebagai ibu yang terdidik untuk membentuk generasi yang lebih baik.
-
-
Warisan: Dewi Sartika diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Sekolahnya menjadi cikal bakal pendidikan perempuan di Jawa Barat, dan semangatnya menginspirasi gerakan pendidikan perempuan di era berikutnya.
2. Maria Walanda Maramis (1872–1924)
-
Latar Belakang: Perempuan Minahasa dari Sulawesi Utara yang hidup di era kolonial Belanda.
-
Kontribusi:
-
Mendirikan PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya) pada 1917, sebuah organisasi yang fokus pada pendidikan dan keterampilan perempuan, khususnya ibu rumah tangga.
-
Mengajarkan keterampilan praktis seperti memasak, menjahit, dan pengelolaan rumah tangga untuk meningkatkan kemandirian ekonomi perempuan.
-
Memperjuangkan pendidikan anak perempuan dan kesadaran akan peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat.
-
-
Warisan: Maria diakui sebagai Pahlawan Nasional pada 2019. Hari Ibu di Indonesia (22 Desember) terinspirasi dari semangat perjuangannya, meskipun lebih dikaitkan dengan Kongres Perempuan 1928.
3. Raden Tumenggung Siti Mariah (1880–1946)
-
Latar Belakang: Perempuan Jawa dari keluarga priyayi di Kudus, Jawa Tengah, yang aktif dalam gerakan sosial dan politik.
-
Kontribusi:
-
Salah satu pendiri Putri Mardika (1912), organisasi perempuan pertama di Indonesia yang berafiliasi dengan Budi Utomo. Organisasi ini memperjuangkan pendidikan, kesehatan, dan hak-hak perempuan.
-
Mengadvokasi kesetaraan gender dalam perkawinan dan pendidikan, serta melawan praktik poligami dan kawin paksa.
-
Berperan dalam menyebarkan ide emansipasi melalui jurnalisme, menulis artikel tentang hak perempuan di media seperti majalah Putri Mardika.
-
-
Warisan: Siti Mariah meletakkan dasar bagi organisasi perempuan modern di Indonesia dan membantu memperluas wacana emansipasi ke ranah politik.
4. Nyai Ahmad Dahlan (1872–1946)
-
Latar Belakang: Istri pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, yang bernama asli Siti Walidah. Ia berasal dari Yogyakarta.
-
Kontribusi:
-
Mendirikan Aisyiyah pada 1917, organisasi perempuan di bawah Muhammadiyah yang fokus pada pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan perempuan berbasis nilai Islam.
-
Mendorong pendidikan perempuan melalui pembangunan sekolah-sekolah dan kursus keagamaan untuk perempuan.
-
Mengadvokasi peran perempuan dalam kehidupan publik, termasuk dalam dakwah dan kegiatan sosial, sambil tetap menghormati nilai-nilai keislaman.
-
-
Warisan: Aisyiyah menjadi salah satu organisasi perempuan terbesar di Indonesia, dan Nyai Ahmad Dahlan diakui sebagai Pahlawan Nasional pada 1971.
5. Raden Adjeng Kartinah (1880–1951)
-
Latar Belakang: Adik sepupu Kartini dari Jepara, yang terinspirasi oleh gagasan-gagasan Kartini.
-
Kontribusi:
-
Aktif dalam Yayasan Kartini untuk melanjutkan visi pendidikan perempuan melalui Sekolah Kartini.
-
Memperjuangkan pendidikan dan keterampilan perempuan di Jepara, dengan fokus pada pemberdayaan ekonomi melalui kerajinan tangan.
-
Berperan dalam menjaga warisan intelektual Kartini dengan mendukung penerbitan surat-suratnya.
-
-
Warisan: Meski kurang dikenal dibandingkan Kartini, Kartinah membantu mewujudkan ide-ide Kartini secara praktis.
6. Raden Ajeng Sukesi (1890–1965)
-
Latar Belakang: Perempuan Jawa dari Solo yang aktif dalam gerakan perempuan pada masa kebangkitan nasional.
-
Kontribusi:
-
Berperan dalam organisasi Wanita Utomo (1920-an), yang memperjuangkan pendidikan dan kesadaran politik perempuan.
-
Mengadvokasi pentingnya perempuan dalam gerakan nasionalisme, menghubungkan emansipasi perempuan dengan perjuangan kemerdekaan.
-
Terlibat dalam Kongres Perempuan Indonesia I (1928), yang menjadi tonggak penting dalam sejarah pergerakan perempuan Indonesia.
-
-
Warisan: Sukesi membantu menjembatani emansipasi perempuan dengan perjuangan nasionalisme.
Konteks dan Perbandingan dengan Kartini
-
Kesamaan: Seperti Kartini, tokoh-tokoh ini menekankan pentingnya pendidikan sebagai alat emansipasi, menentang tradisi opresif seperti poligami dan kawin paksa, serta memperjuangkan kesetaraan gender. Mereka juga hidup di era yang sama, di mana perempuan menghadapi keterbatasan besar dalam sistem feodal dan kolonial.
-
Perbedaan:
-
Fokus Sosial: Kartini lebih terfokus pada lingkungan priyayi, sementara Dewi Sartika dan Maria Walanda Maramis menjangkau kelas bawah. Nyai Ahmad Dahlan mengintegrasikan emansipasi dengan nilai Islam.
-
Pendekatan: Kartini lebih berperan sebagai pemikir dan penulis, sedangkan tokoh seperti Dewi Sartika dan Nyai Ahmad Dahlan lebih aktif dalam pendirian organisasi dan sekolah.
-
Konteks Lokal: Masing-masing tokoh dipengaruhi oleh budaya lokal mereka (Jawa, Sunda, Minahasa), yang membentuk cara mereka mendekati emansipasi.
-
Dampak Kolektif
Tokoh-tokoh ini, bersama Kartini, meletakkan dasar bagi gerakan perempuan Indonesia. Mereka berkontribusi pada:
-
Pendirian sekolah dan organisasi perempuan.
-
Peningkatan kesadaran tentang hak perempuan dalam pendidikan, perkawinan, dan kehidupan publik.
-
Tonggak sejarah seperti Kongres Perempuan Indonesia 1928, yang menyatukan organisasi perempuan dari berbagai daerah untuk memperjuangkan kesetaraan dan kemerdekaan.
Relevansi Hari Ini
Warisan tokoh-tokoh ini terus relevan dalam perjuangan melawan ketimpangan gender, akses pendidikan, dan kekerasan terhadap perempuan. Mereka menunjukkan bahwa emansipasi perempuan tidak hanya soal hak, tetapi juga tentang pemberdayaan melalui pendidikan, ekonomi, dan partisipasi sosial.
Selamat Membaca.
———————-
[rakyat.id]