Ia merangkak diatas bumi yang dicintainyatiada kuasa lagi menegaktelah ia lepaskan dengan gemilangpelor terakhir dari bedilnyake dada musuh yang merebut kotanya.
Ia merangkak diatas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua luka-luka dibadannya
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
matanya bagai saga menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu lima pemuda mengangkatnya diantaranya anaknya
Ia menolak dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak diatas bumi yang dicintainya
belum lagi selusin tindak maut pun menghadangnya
ketika anaknya memegang tangan nyaIa berkata :
“Yang berasal dari tanahkembali rebah pada tanah,dan akupun berasal dari tanah tanah ambarawa yang kucintakita bukanlah anak jadahkerna kita punya bumi kecintaan.bumi yang menyusui kita dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah
bumi kita adalah kehormatan
bumi kita adalah jua dari jiwa
ia adalah bumi nenek moyang
ia adalah bumi waris yang sekarang
ia adalah bumi waris yang akan datang.
“Hari pun berangkat malam
bumi berpeluh dan terbakarkerna api menyala di kota ambarawa
Orang tua itu kembali berkata :”Lihatlah, hari telah fajar!
wahai bumi yang indah
kita akan berpelukan buat selama-lamanya!
nanti sekali waktu
seorang cucuku akan menancapkan bajak di bumi tempatku berkuburkemudian akan ditanamnya benih dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata : “Alangkah gemburnya tanah disini!”Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya.
Karya: WS. Rendra