180
Perempuan tua yang termangu teronggok di tanah berdebu. Wajahnya bagai sepatu serdadu. Ibu! Ibu! Kenapa kamu duduk di situ? Kenapa kamu termangu? Apakah yang kamu tunggu? Jakarta menjadi lautan api. Mayat menjadi arang. Mayat hanyut di kali. Apakah kamu tak tahu di mana kini putramu? Perempuan tua yang termangu sendiri sepi mengarungi waktu kenapa kamu duduk di situ? Ibu! Ibu! Di mana rumahmu? Di mana rumahmu? Di mana rumah Hukum? Di mana rumah Daulat Rakyat? Di mana gardu jaga tentara yang mau melindungi rakyat tergusur? Di mana pos polisi yang mau membela para petani dari pemerasan pejabat desa Ibu! Ibu! Kamu yang duduk termangu terapung bagai tempurung di samudra waktu berapa lama sudah kamu duduk di situ? Berapa hari? Berapa minggu? Berapa bulan? Berapa puluh tahun kamu termangu di atas debu? Apakah yang kamu harapkan? Apakah yang kamu nantikan? Apakah harapan pensiun guru di desa? Apakah harapan tunjangan tentara yang kehilangan satu kakinya? Siapa yang mencuri laba dari rotan di hutan? Siapa yang menjarah kekayaan lautan? Ibu! Ibu! Dari mana asalmu? Apakah kamu dari Ambon? Dari Aceh? Dari Kalimantan? Dari Timor Timur? Dari Irian? Nusantara! Nusantara! Untaian zambrud tenggelam di lumpur! Pengantin yang koyak dandanannya dicemarkan tangan asing tergolek di kebun kelapa kaya raya. Indonesia! Indonesia! Kamu lihatkah itu ibu kita? Duduk di situ. Teronggok di atas debu. Tak jelas menatap apa. Mata kosong tetapi mengandung tuntutan. Terbatuk-batuk. Suara batuk. Seperti ketukan lemah di pintu. Tapi mulutnya terus membisu. Indonesia! Indonesia! Dengarlah suara batuk itu. Suara batuk ibu itu. Terbatuk-batuk. Suara batuk. Dari sampah sejarah yang hanyut di kali. Â Â 5 Juni 1998 Pesawat Mandala Jakarta – Ujung Pandang – W. S. Rendra