Dalam buku Sejarah Kematian yang ditulis Michael Kerrigan (2007) mengatakan bahwa tidak ada sumber studi ritual kematian yang tidak bermanfaat selain Indonesia, sebuah negara kepulauan yang didalam tebaran pulau pulaunya terdapat banyak kebudayaan yang berkembang secara terpisah selama berabad-abad.
Keaneka ragaman budaya yang luar biasa di dalam satu wilayah, yang secara geografis relatif kecil dimana satu pulau dengan pulau yang lain memiliki kumpulan tradisi beragam, hal ini sangat berbeda dengan tradisi-tradisi yang ditemukan di tempat lain di dunia. (Michael Kerrigan, 2007). Yang dimaksud penulis kemungkinan adalah selain keragaman budaya juga kelengkapan artefak pendukung aktivitas budaya masa prasejarah, masa klasik, kolonial, serta adaptasinya ke masa modern.
Di kepulauan nusantara ini masih terdapat ritus-ritus kematian pada kepercayaan asli yang masih bercirikan budaya Megalitikum atau budaya batu besar. Sebagian wilayah Karo Sumatra Utara, Kepulauan Nias, Suku Toraja di Sulawesi, dan Kepercayaan Marapu di Sumba Nusa Tenggara Timur juga masih melakukan aktifitas ritus kematian yang berciri budaya Megalitikum.
Artefak kubur juga tersebar disebagian besar wilayah nusantara, namun diantara artefak tersebut tradisi ritusnya tidak berlanjut lagi atau sudah tidak ada pelaku atau masyarakat pendukungnya. Eksistensi ritual kematian tersebut setidaknya tampak pada artefak sarkopagus di Bali, kubur peti batu di Jawa Timur, Menhir di Sumatera Barat, kubur tempayan dan sebagainya.
Budaya megalitik di Sumba telah menembus batas periode waktu secara teoretis dan berlangsung hingga kini sebagai sebuah tradisi. Budaya megalitik menyatu dalam keseharian masyarakat Sumba dengan latar belakang konsepsi religi yang dipandang sebagai warisan nenek moyang yang harus dipegang teguh. Ciri budaya megalitik di Sumba tidak hanya terlihat dari pendirian dan pemakaian kubur batu atau menhir, tetapi juga dipertegas dalam perilaku keseharian masyarakat, terutama upacara penguburan yang berintikan pemujaan leluhur (ancestor worship).(Handini, 2019: 2)
Kepercayaan Marapu di pulau Sumba dapat dikatakan perpaduan unsur-unsur animisme, spiritisme dan dinamisme. Marapu merupakan sistem kepercayaan religi yang masih dianut sekitar 30% dari penduduk yang tersebar merata di satu pulau.
Hanya masyarakat yang mempunyai leluhur di pulau tersebut yang menjalankan sistem religi Marapu. Kata Marapu berasal dari dua kata, yakni ma dan rappu. Ma bermakna yang, dan rappu bermakna dihormati, disembah, dan didewakan, sehingga marappu merujuk pada arti sesuatu yang dihormati, disembah, atau didewakan. Sementara A.A. Yewangoe (1980:52) berpendapat bahwa marappu merupakan gabungan dari kata ma (yang) dan rappu (tersembunyi), sehingga kata marappu bermakna yang tersembunyi.
Selain itu, Yewangoe juga memperkirakan bahwa marappu berasal dari kata mera (sama/serupa) dan appu (nenek moyang). Dalam istilah sehari-hari, masyarakat Sumba memang biasa menyebut nenek moyang mereka dengan sebutan Marapu (Solihin, 2013).
Kepercayaan Marapu ini mencerminkan budaya Megalitikum yang terelasi secara berkelanjutan dengan kubur-kubur batu besar baik yang baru maupun yang sudah ratusan tahun. Saat ini bentuk kuburnya secara fisik telah dimodifikasi dengan semen, atau perpaduan antara yang baru dengan kubur batu tua. Persebaran Kubur-kubur batu ini berada pada sebagian besar wilayah pulau Sumba dengan bentuk, ukuran serta ragam hias yang beragam, namun mempunyai esensi yang sama.
Menurut konsepsi kepercayaan Marapu, kematian adalah suatu proses peralihan dalam kehidupan setiap manusia. Yaitu proses peralihan dari kehidupan sementara di alam fana ke hidupan abadi di alam baka. Dari kehidupan berjasad kasar ke kehidupan jasad halus. Proses peralihan itu merupakan suatu krisis.
Karena pada saat. kematiannya, manusia sama sekali tidak mempunyai daya kekuatan sendiri untuk melepas roh dari tubuh yang telah mati. Yang mampu melepaskan roh adalah para sanak keluarganya dengan cara melaksanakan segala rangkaian upacara-upacara yang telah ditentukan dalam Adat Kematian dan Penguburan.
Merekalah yang berkewajiban menyelamatkan roh dengan melaksanakan ritus-ritus dengan secermat-cermatnya. Kecermatan dan kesempurnaan pelaksanaan ritus-ritus itu sangat menentukan “nasib” roh anggota keluarganya yang meninggal. Sebab apabila pelaksanaannya tidak cermat dan tidak sempurna, akibatnya roh akan mengalami banyak kesulitan dalam perjalanannya mencapai Negeri Marapu, “Parai Marapu”. Apabila tidak sempurna dalam prosesnya, arwah bahkan bisa tersesat dan menjadi penghuni masyarakat arwah yang terkutuk untuk selama-lamanya.
Dalam kosmologi masyarakat Sumba, alam semesta dibayangkan terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan atas (langit), lapisan tengah (bumi), dan lapisan bawah (di bawah bumi). Sebagai penguasa tertinggi, Tuhan (Ilah tertinggi) dan para Marapu dipercaya tinggal di langit (Wellem, 2004 )
Ritus-ritus itu meneguhkan saling keterikatan di antara mereka, membentuk sarana yang ampuh untuk menguatkan semangat solidaritas mekanis. Inilah yang merupakan sarana pengikat, tidak saja dalam masyarakat kecil, akan tetapi juga dalam masyarakat yang besar, yang sedang menempuh jalan ke solidaritas organis.
Kepercayaan asli di nusantara ini sudah seharusnya menjadi contoh warisan budaya tangible dan intangible yang terintegrasi dan lestari. Kepercayaan Marapu asli masyarakat sumba tersebut sejatinya adalah khasanah ilmu pengetahuan, ada kelengkapan sistem dalam kepercayaan tersebut, pengetahuan yang selalu mempelajari gejala alam untuk bisa beradaptasi dan bertahan di kehidupan.
Kepercayaan Marapu di Pulau Sumba masih menyebar di seluruh pulau dan memiliki kriteria keistimewaan yang tidak terbantahkan. Pola adaptif dalam pengelolaan warisan budaya kepercayaan Marapu dapat dilakukan dalam berbagai media mengikuti kaidah pelestarian. Bukan hal mustahil jika suatu saat pulau sumba dengan kompleksitas warisan budayanya dapat menjadi museum pulau.
Tradisi yang bertahan adalah suatu warisan pengetahuan yang tidak seharusnya punah. Kepunahan yang biasanya terjadi selain dikarenakan desakan budaya modern, kepunahan juga terjadi karena tradisi itu sendiri tidak mampu beradaptasi dengan perubahan. Pada beberapa kasus ritual-ritual penting pada masyarakat kepercayaan asli biasanya membutuhkan biaya yang sangat mahal, lebih ironis lagi jika konsekwensi tersebut berbenturan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang sulilt serta membutuhkan waktu yang cukup menyita kehidupan modern.
Kami melihat Sumba sebagai laboratorium pelestarian budaya, serta Konsep Marapu sebagai akar semangat jiwa konservatif masyarakat Sumba.
Tujuan khusus project ini adalah pengenalan multimedia yang nantinya akan berguna untuk kelangsungan data pengetahuan budaya. Pengertian multimedia secara umum adalah penggabungan teks, gambar, animasi, audio, video dan interaksi dalam komputer atau segala yang berhubungan dengan teknologi komputer.
Multimedia sering digunakan dalam dunia informatika, sedangkan pengertian multimedia baru (new multimedia) lebih sering muncul dalam dunia kesenian. Pada terminologi yang lain, saat ini seniman juga banyak yang memanfaatkan multimedia dan menambah elemen lain dalam karyanya, elemen dimaksud dapat berupa artefak yang mengacu pada prinsip autentifikasi maupun replika digital yang diolah menjadi karya multimedia baru dan proses ritus penguburan sebagai sebagai bahan studi teaterikal.
Dengan pengenalan multimedia baru juga bertujuan untuk menstimulasi ketertarikan masyarakat dan pemerintah untuk membuat museum digital yang berorientasi koleksi tangible-intangible, cagar budaya bergerak – tak bergerak yang secara teknis datanya (artefak/photo, aktifitas/data video) dapat dilakukan secara kolektif sejak dini.
Pengumpulan data tersebut tentunya sangat berguna untuk warisan budaya Indonesia, tidak hanya menjadi data arsip (database) tetapi juga bisa menjadi bahan untuk menghasilkan karya baru lagi di lintas disiplin ilmu yang berbeda.
Pengenalan multimedia juga diharapkan mampu memfilter konsumsi teknologi informasi oleh masyarakat. Mengedukasi masyarakat melalui multimedia tentu hal yang positif dan reliable untuk dilakukan saat ini. Perkembangan teknologi dewasa ini mempunyai sifat-sifat yang dinamis dan melaju sangat cepat.
Selanjutnya sangat memungkinkan menjadikan fungsi smartphone setara dengan kemampuan komputer (pc) berikut program-program aplikasinya. Dengan mengenal multimedia akan menumbuhkan ketertarikan memanfaatkan smartphone menjadi kreator, tidak hanya menjadi konsumser.
Tidak menutup kemungkinan kemampuan multimedia ini bisa menjaga aktifitas ritual sebagai budaya dengan menggantikan sesuatu yang susah didapat atau terlalu mahal dalam suatu kepentingan ritual dengan cara mevisualisasikan benda atau simbol tersebut, kemampuan multimedia juga bisa menghasilkan hibridasi budaya lisan.
Menurut Kleden, bahwa kebudayaan adalah dialek antara ketenangan dengan kegelisahan, antara penemuan dan pencarian, antara integritas dan disintegritas, antara tradisi dan reformasi.
Karena tanpa tradisi atau tanpa integrasi suatu kebudayan menjadi tanpa identitas, sedangkan tanpa reformasi atau disintegrasi suatu kebudayaan akan kehilangan kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang, untuk memperbahauri diri, atau untuk menyesuaikan diri dengan paksaan perubahan sosial (Kleden,1986).
Program
Kegiatan ini akan diselenggarakan di dua lokasi, yaitu Bali dan Sumba Timur. Kegiatan ini rencananya akan dilaksanakan melalui kerjasama tim yang melibatkan seniman, baik dari Bali maupun dari Sumba Timur.
Bentuk kegiatannya adalah workshop video mapping dan workshop digital Museum Marapu di Sumba Timur. Secara teknis workshop digital museum akan melibatkan masyarakat Sumba Timur, baik yang sedang terlibat mengelola museum maupun perseorangan yang tertarik belajar museum digital, workshop digital museum juga mengenalkan geo tagging, location based services (LBS), memanfaatkan fitur Global Potitioning System (GPS) yang teringrasi pada perangkat smartphone (mobile devices). Secara singkat dapat dijelaskan bahwa masyarakat saat ini sangat familiar dengan teknologi smartphone, untuk menambah fungsi perangkat tersebut agar lebih bermanfaat bagi konten budaya, perlu diarahkan dalam memahami teknis dan karakter datanya.
Communication network, position component, dan service content provider adalah pengetahuan yang layak untuk diketahui publik. Layanan LBS dapat mengarahkan kita untuk mengetahui posisi dimana kita berada, posisi seseorang, posisi museum, dan posisi situs yang jaraknya dapat kita ketahui melalui plattform mapsource yang ada dalam perangkat kita. Dalam mengukur posisi, digunakan lintang dan bujur untuk menentukan lokasi geografis, cukup sederhana dan sangat bermanfaat jika kita memahami fungsinya sebagai map guide pariwisata yang terintegrasi melalui hyperlink.
Lokasi panggung pertunjukan di Bali adalah memanfaatkan tempat kalangan tajen (sabung ayam) yang berbentuk teater arena, sedangkan lokasi panggung pertunjukan di Sumba Timur adalah di Kampung Raja Praliyu Sumba Timur di depan Rumah adat Landung. Materi pertunjukkan teater multimedia yang akan diangkat adalah ritual penguburan di Sumba Timur. Adat Kematian dan Penguburan para penganut kepercayaan Marapu pada dasarnya masih meneruskan tradisi megalitik yang tercermin dari tahapan-tahapan prosesinya.
Tahap pertama merupakan penguburan sementara (sepulture pravisoire) atau penguburan primer. Tahap kedua merupakan penguburan sekunder. Penguburan secara bertahap itu bertolak dari keyakinan bahwa selama masa penguburan primer, roh seseorang masih tetap berada di alam ramai dalam lingkungan rumah sanak-keluarganya. Setelah dilakukan upacara terakhir (ceremonie finale) dan dilaksanakan penguburan sekunder, barulah roh “dinaikkan” ke Negeri Marapu, Parai Marapu.
Dalam pertunjukkan yang diadakan di Bali hanya mepresentasikan dua adegan (scene) yaitu proses pembukusan sang mati dengan kain tenun dan proses Papanggang (pengawal) menuju batu kubur dengan memanfaatkan dua sisi area penonton sebagai area replika kubur batu dan video mapping, sedangkan pertunjukkan di Kampung Raja Praliyu diharapkan lebih lengkap atau lebih dari dua adegan dengan memanfaatkan rumah adat dan kubur batu asli sebagai area video mapping.
Sumber & Foto: www.prehistoricsoul.net
[RID/fiq]