Mengunyah adalah sikap “ alami ” ketika kita sedang makan gorengan tersedia di kantong kertas tinta, plastik dan piring makan.
Ada kata terdengar menyenangkan ketika anda mulai untuk memadukan gorengan ke dalam mulut yaitu “ kriuk “ dapatkan sensasi pertama ketika menikmatinya, entah bersama teman ataupun sebagai pengganti kerupuk di makanan. Semuanya akan terasa lebih enak apabila makan gorengan “ kriuk “itu dilakukan sambil nongkrong bersama-sama, pasti obrolan beraneka macam pembahasan dari hal paling menyenangkan, menggembirakan, terjorok, tergoblok dan juga cerita cari perhatian. Suasana akan terus berubah, ketika mulut terus merasakan sensasi “ Kiruk “ dari segala macam rasa makanan gorengan.
Jangan melupakan adonan terigunya, kalau terlalu banyak air akan menjadi tipis seperti rempeyek kacang. Memang lebih nyaring lagi suara kriuknya, tapi akan banyak perubahan arah obrolannya. Terceletuk ketika Si Bakwan makan gorengan pisang, “100 hari kerja pertama lalu apa yang sedang anda pikirkan”. Istimewa ketika kelompok gorengan mulai menghitung jari jemari ini terkait hasil, kerja, tindakan, keputusan, solusi, permasalahan dan prestasi.
Banyak rasa, tentunya juga membawa banyak perbedaan cerita dari suka, biasa, sangat suka, rasa terlanjur, tidak peduli juga ada. Semuanya itu hal wajar saja , tidak merasakan susahnya mencari di luar jaman yang kini sudah berbeda, pemimpin, aturan, kebijakan dan juga tentunya akal bulus Si Pencuri Kesempatan.
Rahasia enaknya sepotong gorengan, dari apa yang tersaji di dalam pikiran kita, sumbernya adalah celoteh tanpa arah seketika. Tidak perlu aturan berbicara ketika mulut penuh dengan sisa minyak tertinggal di bibir dan jemari tangan. Melihat bungkus gorengan saja terkadang bisa menjadi bahan perbincangan, bagaimana tidak melotot ketika lihat secarik kertas ijasah dengan identitas lengkap, ada fotonya, serta identitas lainnya bisa menjadi bungkusan gorengan. Bagaimana itu bisa terjadi di negeri gorengan. Pasti ini kerjanya cabai, memberikan tema pada pembelinya agar terus mengunyah ketika gorengan tetap hangat.
Dengan begitu tema 100 hari kerja akan menjadi ingatan telak para masyarakat penikmat gorengan, untuk bebas berasumsi, berkata-kata, menyimpulkan serta juga mengkritisi apa itu angka seratus.Menjadi begitu penting atau hanya menjadi kicauan serapah para pemuja angka seratus. Diam sajalah dari pada menjadi angka Nol yang besar, apakah tetap mempunyai arti ?.
Kita kembalikan saja ke dalam kerangka obrolan para pelakunya, apakah itu namanya pertanggung jawaban , hanya sekedar kasus persoalan di atas tinta ataupun solusi yang melekat seperti wadah kantong gorengan beridentitas . Kalau tak mampu menjadi bagian angka lebih baik tak perlu berkelakar panjang. Tutup pembicaraan, lalu sumpal mulut anda dengan gorengan molen pisang penuh rasa keju coklat.
Lalu akhirnya dengan susah payah menceritakan apa saja, apa rasa, apa kritik, apa terbaik, itu semuanya akan tergantikan dengan rasa tertulis oleh sejarah. Setiap perilaku, kebijakan , aturan dan kepastian bukanlah barang seperti gorengan hanya meninggalkan jejak minyak di jari tangan. Tetapi itu adalah jejak tinta biru ataupun tinta hitam.
Tidak ada lagi perdebatan, semua rasa akan hancur karena terlalu banyak cabai di mulut Si Bakwan. Apa kamu bilang, enak juga kalau tambahin nasi ?.
Salam Gorengan.
Penulis: [Moc]