TERAPI DENGAN SENI ALA YAKSA
Seniman muda yang beranjak senior ini lahir dan dibesarkan di Yogyakarta, ia adalah Yaksa Agus. Di sela-sela kegiatannya berkarya, Yaksa memulai dengan konsen untuk mencoba membuat karya seni rupa sebagai terapi pada dirinya sendiri, dengan menggunakan media kertas, tepatnya bekas box obat injeksi faktor VIII untuk hemofilia.
Ada alasan mengapa box injeksi faktor yang dipakai sebagai media berkarya. Hal ini karena kebetulan Yaksa adalah salah satu penyintas hemofilia, di mana setiap seminggu atau dua minggu sekali ia harus menerima injeksi faktor VIII untuk mencegah terjadinya pendarahan di dalam tubuhnya.
Sebagai penyintas hemofilia, ia riskan sekali dengan luka berdarah, baik di kulit ataupun di dalam tubuh, di mana proses pembekuan darahnya mengalami gangguan, sehingga ia memerlukan injeksi faktor VIII untuk menormalkannya.
Rutinitas injeksi tentu bukan hal yang mudah dan menyenangkan, sehingga untuk mengurangi kebosanan, juga untuk membangun kesehatan mental yang memperkaya kehidupan individu maupun sosialnya.
Yaksa mencoba mempraktekkan Terapi Seni (selanjutnya kami sebut dengan ‘Terapi Seni’) untuk dirinya sendiri; berkarya seni untuk terapi pada diri. Kegiatan Terapi Seni ini pernah juga dibuat untuk beberapa penyintas hemofilia.
Melalui pembuatan seni aktif, proses kreatif, teori psikologi terapan, dan pengalaman manusia dalam hubungan psikoterapi. Tentu tetap dengan berkomunikasi dengan dokter sebagai konsultan, tetapi program ini berjalan kurang maksimal.
Hal ini salah satunya karena program ini harus dilakukan secara mandiri dan berkelanjutan, sedangkan support dari organisasi untuk penyitas hemofilia ini bisa dikatakan tidak ada.
Terapi Seni ini cukup menarik jika dilakukan; di saat seseorang sedang berjuang, menghadapi tantangan, atau bahkan krisis kesehatan—di saat kata-kata atau bahasa mereka sendiri sudah tidak mampu membantu mereka, selama masa-masa ini, seorang terapis seni dapat membantu klien mengekspresikan diri mereka dengan cara-cara yang lebih dari sekadar kata-kata atau bahasa.
Terapis seni terlatih dalam teori seni dan psikologi dan dapat membantu klien mengintegrasikan isyarat non verbal dan metafora yang sering diungkapkan melalui proses kreatif.
Terapis seni bekerja dengan individu dari segala usia, termasuk anak-anak yang mengalami tantangan perilaku atau mereka yang memiliki gangguan Spektrum Autisme, mereka juga membantu orang dan pengasuh yang mengalami krisis kesehatan; korban kekerasan atau trauma lainnya — termasuk anggota dinas militer dan siswa yang selamat dari penembakan massal; orang dewasa yang lebih tua dengan demensia; dan siapa pun yang membutuhkan bantuan untuk mengatasi tantangan hidup.
Terapi Seni seorang Yaksa Agus dimulai sejak 31 Desember 2024 malam, di mana terjadi pembengkakan pada rahangnya, karena pendarahan di dalam persendian rahang, dan untuk mengalihkan rasa sakit, muncul keinginan untuk melakukan terapi dengan berkarya seni. Bagi Yaksa, proses Terapi Seni ini menjadi bagian dari eksplorasi dalam kekaryaannya. Ada proses main-main dengan membuat “Satu Hari Satu Karya”.
Mengapa Terapi Seni Efektif?
Terapi seni sangat efektif selama masa krisis, perubahan keadaan, trauma, dan kesedihan.
Menurut penelitian, terapi seni membantu orang merasa lebih mampu mengendalikan hidup mereka sendiri, dan membantu meredakan kecemasan dan depresi, termasuk pada pasien kanker, pasien tuberkulosis yang menjalani isolasi, dan veteran militer dengan PTSD. Selain itu, terapi seni membantu mengelola rasa sakit dengan mengalihkan fokus mental dari stimulus yang menyakitkan.
Pada tahun 2004, Yaksa pernah menjadi volunteer untuk membantu sebuah program Terapi Seni di Selayang Hospital, Kuala Lumpur, Malaysia. Dari sanalah ia kemudian banyak mencari tahu atau terlibat di kegiatan tentang Terapi Seni.
Menurut Yaksa, untuk melakukan Terapi Seni–dengan media melukis atau menggambar–tidak harus punya bakat seni (Terapi Seni tidak hanya dengan seni rupa, tetapi juga bisa dengan seni musik, tari, atau puisi). Tentu setiap orang punya daya kreatif – dan kita semua bisa membuat karya seni saat masih anak-anak.
Ketika masih di Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar tentu ada pelajaran menggambar. Disanalah setiap anak bersuka cita membuat karya di buku gambar mereka.
Semua bisa menggambar dengan rasa senang dan menggambarkan kehidupan yang gembira penuh rasa optimis.
Dalam proyek Terapi Seni-nya ini, Yaksa memanfaatkan box bekas obat injeksi faktor VIII yang digunakannya sebagai media ekspresi dengan berbagai media seperti pensil, tinta,warna, cat, dan kolase.
Proyek ini akan berlangsung selama satu tahun penuh, setiap hari, hingga 31 Desember 2025 mendatang. Karya-karya yang dituangkan di atas kertas box bukan hanya sebatas luapan emosi, melalui garis, warna, bentuk, dan teknis lainnya untuk menggambarkan perasaan, melainkan juga sebagai sarana ekspresi emosi melalui gerakan dan warna. Selain goresan cat, tinta, Yaksa juga menggunakan tehnik kolase dalam beberapa karyanya.
Sekadar mengintip terapi secara estetik ini, tentu bukan sekadar ekspresi sesaat yang dituangkan setiap harinya, tetapi ada semacam upaya menggambarkan diri dengan emosi dan perasaan setiap harinya, dengan membuat satu karya.
Beberapa karya di antaranya hadir ekspresi-ekspresi wajah yang seakan jelas mengungkapkan emosi, atau semacam menghadirkan perasaan kisah ke dalam karya.
Ada pula karya yang hadir bentuk bentuk Mandala atau pola yang mewakili keadaan emosional, walaupun dalam pola sederhana. Jika kita amati satu-persatu karya Yaksa, kita bisa membaca grafik emosi dalam setiap lembar karyanya.
Ada banyak perubahan emosi, pasang surut setiap harinya. Lalu, apakah dalam karya-karyanya, Yaksa juga menghadirkan simbol emosi untuk menggambarkan perasaan?. Misalnya bentuk hati untuk cinta.
Ataukah metafora-metafora hadir dalam karya visualnya, sebagai ungkapan emosi melalui simbol benda atau hewan? Yaksa menjawab, bahwa dalam Terapi Seninya ini segala emosi hadir dalam karya-karyanya.
Apa yang sedang dilakukan Yaksa ini, bisa pula dimaknai sebagai jurnal seni pribadinya: yang berisi catatan akan pikiran dan perasaan dengan bahasa visual, juga bisa pula dilihat sebagi Peta Emosinya dari hari ke hari, sehingga bisa pula dimasukkan sebagai Ritual Seni.
Muncul pertanyaan, apakah kemudian karya-karya ini, setelah sampai waktu yang ditargetkan–satu tahun penuh–seluruh hasil karyanya ini akan dipamerkan, dirangkai dengan display atau dalam bentuk instalasi?.
Ini jawaban Yaksa, “Apakah kelak akan menjadi sebuah pameran tunggal, atau bagaimana saya belum punya rencana”.
Namun, karya-karya dalam Terapi Seni Yaksa pada bulan pertama ini sudah dihadirkan secara interaktif dengan diunggah dalam laman Facebook dan Instagramnya, dengan harapan akan terjadi semacam diskusi kecil, atau terjadi apresiasi akan makna dan perasaan di balik karya, kemudian akan ada refleksi balik untuk kemudian bisa hadir menjadi semacam catatan kecil di setiap satu bulannya[].
Yaksa Agus, seniman kelahiran Bantul, Yogyakarta, 23 Agustus 1975.
Yaksa adalah seorang perupa yang perjalanannya diwarnai oleh eksplorasi diri dan refleksi sosial.
Lulusan SMSR dan ISI Yogyakarta, ia telah mengadakan banyak pameran tunggal dan kelompok, baik di dalam maupun luar negeri, menunjukkan konsistensinya dalam berkarya.
Pameran tunggal pertamanya tahun 2000 bertajuk “Seni untuk Kemanusiaan” hingga yang terakhir bertajuk “Yaksapedia”.
Karya-karyanya mencerminkan pergulatan batin dan pengamatannya terhadap lingkungan sekitar. Hingga saat ini, Yaksa juga aktif sebagai kurator dan penulis dalam berbagai proyek seni.
Karya-karya yang dihasilkan sebagai Terapi Seni Project ini, bisa diintip melalui e-mail: yaksa.agus@gmail.com; laman Facebook: @Yaksapedia, dan Instagram: @yaksapedia.
Yogyakarta, 25 Januari 2025
Penulis : N Agustien, SSos
( Alumni UNS Surakarta / Jawa Tengah).
[rakyat.id]